Moderasi Beragama dan Persatuan Indonesia

OPINI
Oleh: Prof. Dr. Muhammad, MAg

NASIONAL, MDNtimes.id - Moderasi beragama menjadi trending topik dalam beberapa tahun terakhir. Moderasi atau moderatio (Latin) berarti “sedang”, tidak lebih dan tidak kurang, wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrim disetarakan dengan kata “wasatiah” dalam bahasa Arab. Wasatiyah artinya, tengah-tengah, umat pertengahan (ummatan washatan) dan netral. Dengan demikian, moderasi beragama dimaknai sebagai satu cara pandang sederhana, tidak ekstreem dalam mengartikulasikan pemahaman dan pengamalan ajaran agama sehingga agama menghadirkan public civilized (keadaban publik), ajaran moral kebajikan (virtue). Keseimbangan dalam mengekspresikan keyakinan dan pengamalan ajaran agama diperlukan sebagai upaya mewujudkan kehahrmonisan relasi sosial dan persatuan masyarakat majemuk seperti Indonesia. 

Indonesia dijjuluki sebagai “the miracle country on the world”, salah satunya karena secara defacto masyarakatnya memiliki budaya yang berbeda, bahasa yang beradam, dan sukuk, adat istiadat, dan norma yang berbeda. Indonesia memiliki struktur demografi penduduk kurang lebih 268.583016 jiwa, dan memiliki 300 kelompok etnik dan 250 bahasa. Keaneka ragaman yang Indah itu mampu dirawat dengan baik sehingga persatuan Indonesia terjaga dengan baik. Namun, perkembangan geo-strategis global, regional memiliki daya transformatif kuat dalam tata kehidupan nasional dan lokal. Selain itu, perkembangan teknologi, media komunikasi mempermudah transmisi ideologi dan gaya hidup global pada masayrakat lokal. Kondisi faktual ini tidak saja melahirkan estremisme, radikalisme, fundamentalisme dan terorrisme sosial, dan politik serta agama, tetapi juga menggerus nilai-nilai luhur yang dibangun berdasar local wisdom. Sikap intoleransi beragama, menyalahkan dan menyerang kelompok lain, menebar hoax dan ujaran kebencian (hate speech) serta menghalalkan darah dan nyawa orang lain untuk dibunuh atas nama agama menjadi buah dari persebaran transimisi ideologi dengan mudah. 

Menyebar Hoax dan ujaran kebencian (hate speech) dengan mudah dilakukan seolah tanpa filter moral. Bahkan dijadikan sebagai instrumen potensial untuk menyeseatkan, dan mengganggu kondisi psikologis orang lain. Hoax dan hate speech diframe secara berulang-ulang sehingga menjadi sebuah kebenaran muspra untuk tujuan character assasination pada personal dan kelompok target. Ujaran kebencian juga menjadi instrumen untuk menyerang orang lain atas identitas ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual. Anehnya, orang beragama (percaya kepada Tuhan) juga secara sadar mengkostruksi statement yang dipoles atas ajaran agama untuk ujaran kebencian. Agama apaun tidak membenarkan hate speech dan hoax selain tidak membawa makna positif, merusak citra, juga menodai kesucian ajaran agama dan fitrah manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mulia. 

Selain bertentangan dengan nurani kemanusiaan, hoax dan hate speech juga potensial membentuk kejahatan extrordinary yang sistematis, yang bertentangan dengan hukum, moralitas agama, dan etika sosial serta nilai luhur buadaya bangsa Indonesia yang dikenal tepo saliro dan tenggang rasa. Kebiasaan mengkonstruksi kebenaran muspra selain dapat mematikan rasa yang berakibat pada sulitnya menerima kebenaran, juga dapat menghantar masayaraka (pelaku) mati rasa terhadap kebenaran. Akibatnya, masayarakat terjerumus pada sikap antagonistik yang bertentangan dengan esensi agama, yang secara harfiah berarti “a= tidak”, dan “gama=kacau”; tidak kacau. Hoax dan hate speech sebagai dua bentuk kejahatan kemanusiaan dan musuh agama memerlukan panacea yang dapat menjadi antitesanya di antaranya dengan cara memahami esensi kebebasan berpendapat inti demokrasi, dan kesadaran bahwa perbedaan itu indah (plural is beatiful). 

Kebebasan manyampaikan pendapat di muka umum memang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28E ayat (3)  menegaskan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut Pasal 28F menjamin “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Konstitusi memberi ruang bagi tumbuhnya kebebasan yang sehat dengan memanfaatkan iformmasi yang berkembang untuk kemaslahatan diri, keluarga, masyarakat dan kemajuan bangsa. Menahan diri tidak memanfaatkan informasi untuk sasaran destruktif (fasad) yang merugikan banyak pihak sebagai bentuk kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional dan spiritual secara bersamaan. Kebeasan yang dilindungi UU adalah kebebasan yang terbatas atas kepentingan diri, penghargaan pada orang lain dan pada konteks yang terbatas atas nama kemanusiaan, dan kebaikan universal.

Hak azasi manusia tanpa batas adalah sebuah kegagalan logika berfikir sehat. Hak azasi manusia dibatasi oleh hak orang lain untuk mereka nikmati sebagaiman layaknya. Kebebasan HAM dipahami sebagai kebebasan individual yang tidak mengikat eksistensi orang lain (liberal) tanpa etika dan norma sosial, dan moralitas agama. Menebar hoax dan hate speech atas nama kebebasan tanpa pembantasan menjadi petaka retaknya kohesi social, meningkatnya ekskalasi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan agama, provokasi dan terror psikologi melalui berbagai media social. Pancasila dan UUD 45 menjamin kebebasan namun tidak dibenarkan untuk merampas kebebasan orang lain, diekspresikan tanpa pertimbangan etika dan moralitas dalam menghargai orang lain. 

Pemahaman dan sikap beragama yang menghargai pluralitas sosial adalah indikator dari moderasi beragama. Ektrimisme pemahaman tekx-teks agama secara texstual tanpa intervensi nalarologi berdampak pada lahirnya pemahaman dan sikap beragama yang rigid, jumud, stagnan dan tidak adaptable dengan transformasi yang terjadi. Sebaliknya, pemahaman agama yang dibangun di atas fondasi power of rationality; menghindari intervensi agama (wahyu, atau commandement of God) berdampak pada pengabaian kebenaran transendetal yang subjektif, yang bersumber dari spirit agama keumdian melahirkan keberagamaan liberal. Integrasi pemahaman dan perilkau beragama bersumber dari akal dan wahyu secara moderat (seimbang) sangat diperlukan dalam menjaga persatuan dan harmonisasi hubungan antar dan interen umat beragama. 

Moderasi pemahaman agama menjadi isntrumen penting dalam membangun masyarakat plural yang damai dengan beberapa dasar. Pertama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama (religious society). Kedua, semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran dengan syariat implementasi yang berbeda. Perbedaan adalah by design Tuhan dengan tujuan untuk melihat siapa berkontribusi dan memiliki dedikasi terbaik dalam pembangunan, menebar manfaat untuk kemaslahatan diri dan masyarakat. Ketiga, agama mengajarkan sikap toleransi, yaitu mengakui (bukan meyakini) keyakinan orang lain dan memberinya ruang artikulasi untuk implementasi ajaran agama tanpa bayang-bayang kekerasan. Keempat, manusia pada dasarnya adalah umat yang satu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia disempurnakan kejadiannya dengan ditiupkan ruh ke dalam dada laki dan perempuan. Bersamaan dengan ditiupkan ruh manusia juga dianugerahi nikmat, rasa atau dzat sehingga dengan rasa itu kita dapat merasakan suara kebaikan dan suara kejahatan yang dibisikkan ke dalam dada, termasuk efek dari hoax dan hate speech dirasakan orang lain, dapat kita rasakan juga. Kelima, hidup damai adalah misi universal yang ingin digapai setiap orang melalui implikasi ajaran agama secara moderat.

Prof. Dr. Muhammad, MAg
Alumni Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 tahun 2021 Lemhannas RI.
Previous Post Next Post