Tambora Menyapa Dunia: Letusan 1815 dan Mitigasi Masa Depan Iklim Global

Foto: Prof. Dr. Muhammad Said. Mag,

Opini
, MDNtimes.id -Letusan Gunung Tambora adalah salah satu ikon lokal Nusa Tenggara Barat yang menarik perhatian dunia. Peneliti dari seluruh dunia, termasuk Oppenheimer (2003), Stopher (1984), Raible dan Wegman (2016), telah memperhatikan keberadaan Gunung Tambora. Meskipun Gunung Tambora adalah gunung terkenal di dunia, lahar yang menyebar saat meletus pada April 1815 silam telah memiliki dampak besar pada masyarakat di seluruh dunia. 

Selain itu, dari perspektif efek, letusan Gunung Tambora telah menarik banyak orang untuk mengeksplorasi berbagai perspektif. Namun, masyarakat lokal dan nasional kurang mengetahui gunung berapi aktif ini yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ini terutama berlaku bagi generasi muda, yang merupakan pewaris budaya lokal dan nasional. 

Berdasarkan pengetahuan sejarah, Tambora bukan saja menjadi ikon Pulau Sumbawa, seperti Mandalika sebagai ikon Pulau Lombok, dan Pulau Komodo di Labuhan Bajo sebagai ikon Pulau Flores Nusa Tenggara Timur yang perlu direkonstruksi dan dilestarikan untuk berbagai tujuan pembangunan, termasuk pembangunan sektor ekonomi yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, Tambora menjadi ikon global dari peradaban Sumbawa, Lombok, dan Komodo. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten di Nusa Tenggara Barat, harus mendokumentasikan literasi dan rekonstruksi historis Gunung Tambora.

Para peneliti mencatat bagaimana letusan Gunung Tambora mempengaruhi iklim global dan sistem Bumi. Oppenheimer (2003) menemukan bahwa Gunung Tambora berada di tengah pulau dan merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik (Ring of Fire). Gunung Tambora terkenal karena gempa bumi dan letusan gunung berapi yang menyebabkan pergerakan lempeng tektonik dan dampak secara luas. Gunung Tambora yang berlokasi di Pulau Sumbawa, dikenal di tengah pulau yang memungkinkan abu vulkanik menyebar dan berdampak tidak saja pada masyarakat local, dan regional, tetapi juga internasional. 


Gunung Tambora yang memiliki peran penting dalam geologi dan geografis karena lokasinya yang strategis di jalur vulkanik aktif dunia adalah salah satu puncak tertinggi di Indonesia dengan ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut (Oppenheimer, 2003). Menurut Volcanic Explosivity Index (VEI) 7, letusan Gunung Tambora pada April 1815 merupakan salah satu letusan gunung berapi paling kuat dalam Sejarah, yang menghasilkan kolom abu yang mencapai stratosfer dan menyebar ke seluruh dunia, serta menyebabkan perubahan iklim yang signifikan. Sekitar 71.000 orang tewas secara langsung dan tidak langsung sebagai akibat dari letusan tersebut, yang menyebabkan penyakit dan kelaparan (Stothers, 1984). 


Partikel abu dan gas dilepaskan ke atmosfer menyebabkan lebih sedikit sinar matahari mencapai permukaan bumi, yang mengakibatkan penurunan suhu dunia sehingga tahun 1816 suhu lebih dingin melanda Amerika Utara dan Eropa, yang menyebabkan kelaparan dan gagal panen (Raible & Wegmann, 2016). Letusan Tambora melepaskan sekitar 60 hingga 100 megaton sulfur dioksida (SO2) ke atmosfer. Aerosol sulfat bereaksi dengan uap air dan memantulkan sinar matahari kembali ke Bumi. Raible dan Wegman (2016) mensimulasikan efek letusan Tambora menyebabkan perubahan besar dalam sistem iklim global, peningkatan pusaran kutub stratosfer musim dingin, dan perlambatan siklus air, penurunan kadar CO2 atmosfer, dan peningkatan sirkulasi monsun musim panas, serta penguatan Sirkulasi Overturning Meridional Atlantik (Raible & Wegmann, 2016). 


Gunung Tambora memerlukan perhatian berbagai pihak dalam mengurangi dampak bencana dengan mengambil tindakan terencana untuk mencegah letusan gunung berapi yang mungkin terjadi di masa depan. Peningkatan sistem peringatan dini untuk memantau aktivitas vulkanik secara real-time menjadi catatan sangat penting sehingga memungkinkan masyarakat lokal untuk mengenal signal aktivitas vulkanik yang membahayakan. Peningkatan ketahanan infrastruktur untuk menghadapi bencana penting. Selain itu, untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana alam, menjali harmoni dengan alam dan melestarikan sumber daya alam terbarukan sangat strategis di Tengah krisis ekologi yang berdampak perubahan iklim (climate change), termasuk pengelolaan lahan yang baik dan penanaman kembali hutan di daerah yang terdegradasi. 


Kolaborasi dan koordinasi antara pemerintah daerah, nasional, dan lembaga internasional juga penting untuk ditingkatkan terutama untuk berbagi informasi dan sumber daya yang diperlukan dalam memitigasi dan respons bencana. Penelitian dan pengembangan fokus pada peningkatan pengetahuan tentang dinamika letusan gunung berapi dan dampaknya terhadap iklim dan Lingkungan juga tak kalah penting untuk diprogramkan. Hasil penelitian penting selain menjadi rekomendasi kebijakan membuat strategi mitigasi yang lebih baik, yang berdampak futuristik dalam beberapa seperti mencegah bencana, meningkatkan kenyamanan masyarakat, dan mengurangi dampak letusan gunung berapi.

Opini Oleh: Prof.Dr. Muhammad Said

 (Pendiri dan Peneliti Senior Lembaga Para Sophia Indonesia)


Previous Post Next Post