KDRT, Tanggungjawab dan Pendekataan Prefentif

OPINI
Oleh: Prof. Dr. Muhammad Said, MAg

NASIONAL, MDNtimes.id - Akhir Desember 2019, masyarakat dikejutkan wabah corona virus 19 yang berawal dari Wuhan-Hubei China menyebar luas dengan cepat ke berbagai jagad global. Pemerintah Indonesia mengumumkan corona Virus 19 sebagai darurat nasional yang memunculkan kasus sebanyak 2,203,108 terkonfirmasi, 253,826 (11.5%) dan total kematian mencapai 58,995 (2,7%). 

Berbagai kebijakan melokalisir perkembangan covid 19 diambil pemerintah, di antaranya memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan menggunakan hand sanitaizer. Musibah global itu mengakibatkan masyarakat menjadi kehilangan pekerjaan. Sebanyak 82% kaum laki-laki selain kehilangan pekerjaan juga mengalami stress sehingga rentan emosi, sensitive dan mudah melakukan Kekerasan dalm Rumah Tangga (KDRT) terhadap istri dan anak.
KDRT dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004 dimaknai sebagai “perbuatan berakibat timbulnya penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dan lingkup rumah tangga”. 

Meskipun demikian terang esensi KDRT, namun dalam implementasinya kasus KDRT tetap eksisis dengan korban utama perempuan dan anak. Artinya, UU N 23. 2024 belum fungsional secara maksimal memproteksi perempuan dari derita dan nestapa kehidupan. Kekerasan demi kekerasan kerap mereka alami sebagai korban egosime laki-laki. Banyak hal pemicu lahirnya KDRT, selain memang karakter tempramental yang melekat pada sebagian kaum laki-laki juga disebabkan faktor intenal dan eksternal rumah tangga. Miskomunikasi dan permasalahan ekonomi dan keuanga, pendidikan berpengaruh terhadap munculnya kekerasana. Secara eksternal, kehadiran teknologo komunikasi mempermudah akses embrio lahirnya hubungan gelap yang menjadi prahara keutuhan rumah tangga berawal dari kecemburuan, pertengkaran, kekerasan fisik, dan penelantaran.

Pencegahan meluasnya KDRT menjadi tanggungjawab internal pelaku dan korban kekerasan. Sebagai suami istri yang telah melakukan ikrar hidup setia, bertanggungjawab dan tidak melakukan kekerasan dalam kehidupan rumahtangga, mereka dapat melakukan upaya-upaya prefentif yang menimalisir konflik rumah tangga.

 Keterbukaan komunikasi menyampaikan pesan ketidaksukaan terhadap sesuatu dapat menjadi satu strategi internal yang menciptakan suasana harmonis, seklaigus juga pemicu tingginya intensi konflik yang terjadi. Kehadiran mediator yang memediasi konlik terutama dari kalangan keluarga sangat dekat; ayah dan ibu atau saudara yang dianggap berpengaruh sangat diperlukan.

Selain meredam api konflik juga menjaga aib rumah tangga tersebar luas kepada khayalak yang tidak layak mengkonsumsinya. Pihak lain yang dipandang mampu memberi solsui KDRT seperti tokoh agama, dan tokoh masyarakat serta pihak lain dapat memberi advokasi dan advice kepada pelaku dan korban. KDRT menjadi tanggungjawab bersama sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki nurani untuk mencegah mafsadat (kejahatan) lebih luas. Selain itu, Penegakkan hukum yang fungsional terhadap pelaku KDRT dipandang langkah tepat dengan alasan: Pertama, Indonesia adalah Negara hukum. Artinya, kehadiran negara untuk memberikan pelayanan hukum secara objektif dan fair pada masyarakat sangat dibutuhkan sehingga negara hadir mewujudkan prinisp demokrasi hukum, equality before the law“, kesetaraan kedudukan di laki dan perempuan hadapan hukum”. 

Pemahaman eksistens humanity (kemanusiaan) bahwa kita adalah mahluk madani yang dianugerahi Tuhan “rasa” yang sama sehingga dengan itu kita dapat menakar penderitaan dialami orang lain. Dengan rasa itu pula, kita dapat merasakan keksulitan dan derita ketika berada dalam posisi sebagaimana orang lain me-rasa-kannya. “Rasa” adalah esensi keadilan Tuhan pada Tuhan pada semua manusia tanpa perbedaan apapun. Secara sosial, perempuan dan anak-anak yang menjadi korban KDRT adalah bagian dari kaum laki-laki. Seorang laki-laki, terutama pelaki kekerasan DRT tidak dapat eksis tanpa mereka. 

Bahkan, ketika perempuan tersakiti kehidupan rumah tangga menjadi hambar, senyap dan mati. Menempatkan Perempauan dan anak-anak sebagai kreasi Tuhan yang memiliki derajat dan keunggulan dari mahluk lain selayaknya. Apabila kaum laki-laki ingin dihormati perempuan dan bahkan sesama, maka prinsip “yang tua menghormati yang muda, yang muda menghargai yang tua” harus menjadi realita kehidupan agar tidak melahirkan ego diri. 

Hal penting lain, bahwa perempuan adalah mahluk Tuhan yang dianugerahi kekuatan khusus yaitu menampung ruh orang dan jasad orag lain dalam tempat yang kokoh, yaitu rahimnya. Dari sana bermula kehidupan beranak pinak, menjadi kelurga kecil meluas menjadi kelopmok dan masyarakat kemudian bersuku, berbangsa dan berbahasa yang berbeda. Menjadikan mereka korban kekerasan DRT, sama dengan mengingkari mula kehidupan derawal dari rahim mereka, dan menjadikan masa depan kehidupan kita suram. 

Secara budaya, perempuan memiliki kreativitas yang tidak kalah dari laki-laki. Perempuan dipandang sebagai the second class and the weaker creation sebagaimana budaya patriachki yang seolah mematenkan citra perempuan sebagai pemain yang memiliki ruang gerak terbatas pada ranah domestik. Alasan kodrat perempuan sebagai supplier generasi-genara masa depan melalui peran sebagai ibu rumah tanggal, pelayan bagi suami dan anak-anak menjadi sangat tidak relevan untuk dijadikan justifikasi, bahkan semua itu menjadi tanggungjawab bersama laki dan perempuna yang sudah diikat oleh janji suci pernikahan.

Pandangan patriarkhi berkontribusi pada meningaktnya kekerasan dalam rumah tangga, penafian kelebihan perempuan dan kemuliaannya di sisi Tuhan Yang Maha Esa.Karena Indonesia dikenal sebagai negera Hukum, maka aparat harus adil menegakkan hukum agar memberi efek jera terhadap pelaku, dan melahirkan harmoni kehodupan yang aman, damai, nayaman dan saling mematenkan budaya tepo saliro dan tenggang rasa. Payung hukum tertib masyarakat adalah Pasal 4 UU N0. 23/2004 bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. 

Beberapa kendal teridentifikasi disfungsionalnya hukum KDRT. Pertama, secara internal perempuan masih banyak mereka ketidak tahu prosedur hukum melaporkan kasus KDRT yang dialami. Faktor ini berkorelasi dengan Pendidikan rendah sehingga perempuan sebagai korban cenderung menutup diri dan menanggung beban psikis dan fisik seorang diri. Factor trauma membuat perempuan tidak berani melaporkan perlakuan kekerasan dialami, ketakutan yang tinggi karena ancaman kekerasan dan pembunuhan dari pelaku kekerasan turut berkonstribusi mengkonstruksi ketakutan perempuan. Kedua, secara eksternal, hambatan penghapusan KDRT karena kurangnya kepekaan gender baik oleh masyarakat maupun Pemerintah. 

Faktor budaya masyarakat, yaitu pola fikir konvensional masih didominasi budaya patriakhi. Keyakinan bahwa pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan juga mengukuhkan dominasi budaya patriarchi. Kasus KDRT yang mendera perempuan dan anak menjadi semakin rumit. Perempuan melaporkan KDRT kemudian mencabut pengaduan karena ketakutan, rasa kasihan terhadap masa depan anak-anak, dan dampak menjadi anak keluarga broken home menjadi faktor krusial yang menghalangi fungsionalnya UU KDRT. 

Pencegahan Resiko, dan perlindungan anak dan perempuan memerlukan keterlibatan banyak pihak, terutama kesadaran kaum Adam (suami), tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh perempuan untuk melakukan advokasi dan penyadaran serta pemberdayaan perempuan dalam mendapatkan akses perlindungan hukum atas diri mereka. Hal krusial lain, di antaranya. Pertama, edukasi yaitu kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan, pemahaman, keyakinan dan sikap positif kepada masyarakat dalam rangka menyelamtkan diri mereka dan orang lain dari tindak kekerasan. Kedua, sosialisasi UU secara intens agar pengatahuan merata kepada seluruh kepada masyarakat. Ketiga, role model dari kalangan pemimpinan nasional dan daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk menjadi teuladan bagi rakyat sangat diperlukan. Selain itu, negara melakukan recovery psikologis, kenyamanan social budaya terhadap perempuan dan anak sehingga tercipta ekosistem yang saling menghargai antara laki-laki dan perempuan.

Prof. Dr. Muhammad Said, MAg
Alumni Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 tahun 2021 Lemhannas RI
Previous Post Next Post