Hari yang bersejarah itu diperingati setiap tanggal 1 Juli oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara.
Dikutip dari beberapa sumber, Istilah Bhayangkara sebenarnya sudah dikenal pada era Kerajaan Singasari, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Kertanegara yang dalam Kitab Negarakertagama disebut bertakhta sejak 1254 hingga 1292 Masehi.
Setelah turunnya peraturan yang ditanda tangani oleh Presiden Soekarno kala itu itu, kepolisian yang semula terpisah sebagai kepolisian daerah, menjadi satu kesatuan nasional dan bertanggung jawab secara langsung pada pimpinan tertinggi negara, yaitu Presiden.
Awalnya, Kepolisian sempat dibawah naungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab atas masalah administrasi, sedangkan untuk masalah operasional berada di bawah wewenang Jaksa Agung.
Namun, Bhayangkara justru lekat dengan sosok Gajah Mada yang mengawali kariernya sebagai prajurit pada tahun 1313, kemudian ditunjuk sebagai bekel atau komandan Bhayangkara (pasukan elite pengawal raja). Di bawah komando Gajah Mada, Bhayangkara semakin kuat dan solid.
Ia menanamkan empat prinsip yang disebut Catur Prasetya kepada para personel Bhayangkara. Catur Prasetya, dikutip dari Sejarah Kepolisian di Indonesia (1999) buku terbitan Polri, kemudian diadaptasi sebagai salah satu Landasan Kerja Kepolisian RI yang diresmikan pada tanggal 4 April 1961.
Adapun bunyi dari Catur Prasetya yang dirumuskan Gajah Mada pada waktu itu, yakni :
• Satya Haprabu (setia kepada pemimpin negara),
• Hanyaken Musuh (mengenyahkan musuh-musuh negara),
• Gineung Pratidina (mempertahankan negara), dan
• Tan Satrisna (sepenuh hati dalam bertugas).
Purwadi dalam Sejarah Raja-Raja Jawa (2007) memaparkan, Gajah Mada yang memimpin kesatuan Bhayangkara beberapa kali berhasil mencegah ancaman dan upaya-upaya pemberontakan terhadap kekuasaan Majapahit, selain itu ia juga juga menjaga ketenteraman warga.
Menurut buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) yang ditulis Slamet Muljana, pada 1319 Gajah Mada bersama 15 orang prajurit Bhayangkara sukses mengamankan Raja Jayanegara dari pemberontakan yang dimotori salah seorang petinggi istana bernama Ra Kuti. Setelah menumpas aksi pembangkangan Ra Kuti, Gajah Mada menyatakan berhenti sebagai komandan pasukan Bhayangkara.
Namun, Jayanegara – putra Raden Wijaya yang melanjutkan takhta ayahnya sebagai penguasa Majapahit sejak 1309– kemudian justru mengangkatnya sebagai patih.
Pada Tahun 1328, Jayanegara ditemukan tewas di kamarnya. Konon, pelaku atau otak pembunuhan ini adalah Ra Tanca, tabib pribadi raja yang juga seorang komandan Bhayangkara, jabatan yang pernah diemban oleh Gajah Mada.
Purwadi dalam bukunya yang lain, Jejak Nasionalisme Gajah Mada (2004), menuliskan bahwa Gajah Mada menangkap Ra Tanca, lantas dihukum mati. Adik Jayanegara, Tribhuwana Tunggadewi (1328-1351), dinobatkan sebagai penguasa Majapahit selanjutnya. Di masa inilah Gajah Mada diangkat sebagai mahapatih dan mengucapkan Sumpah Palapa yang melegenda itu.
Ikrar menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit mulai terwujud saat Gajah Mada mendampingi raja berikutnya yang juga putra Ratu Tribhuwana Tunggadewi, yakni Hayam Wuruk (1350-1389). DEP