Preseden setiap moment natal dan pergantian tahun baru ada riak-riak tragedi kemanusiaan dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk Indonesia damai. Argumentasi teologis dan ideologis yang bertentangan dengan logika akal sehat (common sense) seringkali dijadikan justifikasi di balik tragedi. Turbulensi geopolitik global diperkuat arus peredaran informasi yang tidak terbendung sebagai impact dari poewer internet of things (IoT).memberi ruang bagi berkembangnya ideologi non-Pancasila, yang berpengaruh terhadap landscape kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Transmisi ideologi, penyebaran hoax dan hate speech dengan tujuan memperlemah kohesi sosial melaju begitu cepat sehingga sulit membedakan kebenaran dan kepalsuan berita.
Salah satu isu geopolitik menyeruak dalam kehidupan negara bangsa adalah radikalisme. Istilah ini sering menjadi objek yang dijadikan dasar untuk memerangi dan menghapus pertumbuhannya dalam suatu negara. Amerika, dan tentu setiap negara mempunyai kepentingan sama untuk menumpas radikalisme dan terorisme di satua wilayah dengan alasan apapun kemudian memastikan stabilitas di wilayah itu terjaga dengan baik melalui penempatan pengaruh dan atau militer. Kondisi ini menggambarkan negara sebagai organisme yang tumbuh dan berkembang, memerlukan ruang hidup (lebensraum) yang cukup agar negara dapat lahir, tumbuh, berkembang, dan mempertahankan hidup, menyusut, dan mati, oleh Friedrich Ratzel disebut geopolitik.
Istilah Radikalsime digunakan untuk menggambarkan situasi dan keadaan dilakukan kelompok tertentu yang menghendaki trasnformasi ideologi, struktur sosial, dan sistem ekonomi serta kegamaan melalui interpretasi yang bias dengan kepentingan dan bahkan membolehkan kekerasan. Ideologi radikal yang diartikan belief in radical ideas and principles, di mana seseorang/sekelompok orang memiliki pandangan ideologis atau keyakinan (agama) yang bersifat mendasar (radikal). Pihak lain tertuduh sebegai kelompok yang salah bahkan pemerintah tidak selaras dengan mereka dianggap thoguth, dan kafir sehingga wajib diperangi (jihad), dan Qital (pembunuhan).
Tentu, pemahaman demikian sangatlah kontradiktif bukan saja dengan akal sehat tetapi juga agama. Sebab, dalam tradisi agama-agama bahwa kebajikan untuk semua harus terus ditumbuhkembangkan bukan hanya karena sejalan dengan fitrah manusia yang condong pada kebaikan dan kebenaran, tetapi juga kehidupan kolektif manusia harus diisi dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat, yang meniadakan eksklusivitas dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai langkah sederhana deradikalisasi untuk stabilitas dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Pertama, menerima dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara yang mengatur tata kehidupan yang tersari dari saripati ajaran luhur agama.
Agama dan Pancasila merupakan dua pandangan dunia yang secara esensial memiliki hubungan resiprokal erat. Secara esensial Pancasila mengajarkan prinsip Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan, dan kerakyatan berbasis hikmah dan permusyawaratan serta keadilan sosial yang secara all inclusive bersumber dan kompatibel dengan nilai-nilai agama. Kedua, negara berkomitmen menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang berdasar pada prinsip kekeluargaan dan persaudaraan. Faktor ekonomi sangat prinispil sehingga agama menegaskan pentingnya menghindari kemiskinan karena kemiskinan bisa menjerumuskan seseorang dalam jurang kemusyrikan.
Konstruksi stabilitas nasional dan perdamaian dilakukan dengan penguatan fondasi ekonomi afirmatif di mana kepemilikan publik dan kepemilikan negara dikelola secara maksimal sehingga kesejahteraan dapat dirasakan masyarakat melalui trickle down effect hasil pembangunan. Ketiga, rekonstruksi prinisp kemalsahatan lebih luas diutamakan di atas kepentingan kelompok, partai, suku dan agama. Idealnya, para politisi dari partai-partai politik sebagai pilar demokrasi memiliki sense of responsibility kuat mewujudkan demokrasi yang pro-rakyat mayoritas, mengutamakan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan SARA.
Keempat, faktor pendidikan. Pendidikan diakui luas sebagai instrumen yang memainkan peran penting tidak saja dalam mewujudkan pembangunan dalm suatu negara, tetapi juga senjata ampuh untuk mengubah mindset dan masa depan dunia. Pendidikan inclusive sangat dibutuhkan dalam menghindari terjadinya indoktrinasi istilah-istilah yang berorientasi kekerasan seperti kafir dan jihad. Sejatinya, kafir lebih utama mengarah pada kondisi internal, yaitu pembangkangan, pertentangan suara dari dalam hati (ruh) dengan karakter dasarnya yang benar mustahil berbohong, kepercayaan Tuhan untuk mengaktifkan aksesories manusia dengan baik, dan menyampaikan suara kebaikan serta bijaksana dalam menyikapi situasi dan kondisi.
Kemampuan merubah suara hati yang negatif menjadi positif dapat melahirkan perdamaian sebagai esensi makna agama. Untuk itu, agama hadir untuk memperbaiki tatan internal (hati) kita agar terjaga dari bisikan suara negatif dimaksud.
Terakhir, kelima, jihad selama ini bermakna menakutkan memerlukan reformulasi dan simplifikasi makna positif selaras dengan tujuan diutusnya Muhammad Rasulullah saw untuk memperbaiki akhlak dan budi manusia. Beliau mengatakan jihad paling besar itu jihad melawan nafsu. Artinya, jihad itu adalah kemampuan kita untuk fokus menjernihkan suasana bathin dari suara negatif guna mencegah meluapnya amarah sebagai ekspresi nafsu amarah. Itu kenapa dikatakan bahwa orang yang gagah perkasa adalah mereka yang mampu menahan diri ketika amarahnya membuncah. Dengan pemakna terma kafir dan jihad yang lembut, maka trasformasi tatanan kehidupan penuh kekerasan menjadi damai yang berdampak pada terciptanya stabilitas dan perdamaian dalam masyarakat plural.
Opini Oleh: Prof. Dr. Muhammad Said. MAg
(Kelompok Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Alumni PPSA 23/21 Lemhannas RI)