Opini: Mencegah Pendanaan Terorisme melalui Central Bank Digital Currency: Perspektif Ekonomi Islam

Prof.Dr. Muhammad Said, MAg
 (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kelompok Ahli BNPT Bidang Ekonomi Islam)

Nasional, MDNtimes.id - Terorisme adalah salah satu ancaman terbesar bagi stabilitas global, termasuk Indonesia. Kemajuan teknologi digital, khususnya Internet of Things (IoT), telah membuka ruang bagi penyebaran ideologi radikalisme dan terorisme yang bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan kian terancam oleh propaganda radikalisme yang menyebar melalui platform digital. Ini berpotensi menggantikan ideologi Pancasila dengan kekerasan, intoleransi, dan terorisme, yang tak hanya mengancam stabilitas nasional tetapi juga merusak persatuan bangsa yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika.


Terorisme sering memanipulasi ikon agama untuk membenarkan tindakan kekerasan. Kelompok seperti ISIS, misalnya, menggunakan agama untuk menjustifikasi aksi brutal mereka, meskipun bertentangan dengan prinsip-prinsip agama itu sendiri. Pemahaman parsial terhadap ajaran kitab suci menjadi alat bagi kelompok radikal dalam menyebarkan ideologi kekerasan, terutama kepada anak muda dan perempuan, dengan janji surga melalui konsep jihad yang salah kaprah. 

Data menunjukkan bahwa lebih dari 1.500 Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk 80 anak-anak, telah bergabung dengan kelompok teroris, dan beberapa di antaranya telah kembali ke tanah air setelah menyadari kekeliruan tersebut. BNPT, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, telah berhasil mencegah serangan teroris besar hingga mencapai zero attack pada tahun 2023. Program-program prioritas seperti Desa Siaga, Kampus Kebangsaan, dan Sekolah Damai telah dirancang untuk mencegah penyebaran radikalisme, khususnya melalui pemberdayaan anak dan perempuan. Pendanaan terorisme merupakan aspek penting yang harus diperangi dalam upaya global melawan terorisme. 


Central Bank Digital Currency (CBDC) muncul sebagai alat yang potensial untuk memperkuat otoritas moneter negara-negara berkembang, khususnya negara-negara dengan mayoritas Muslim, yang sering bergantung pada sistem moneter global yang didominasi oleh dolar AS. Ketergantungan ini membuat negara-negara tersebut lebih sulit untuk mengontrol aliran dana lintas batas yang mendukung kegiatan terorisme. CBDC memungkinkan bank sentral untuk memiliki kontrol penuh atas mata uang digital yang diawasi secara real-time, sehingga memungkinkan pelacakan dan pemblokiran transaksi yang mencurigakan. Dengan mengurangi ketergantungan pada mata uang asing, negara-negara berkembang dapat meminimalkan risiko pengaruh asing yang tidak diinginkan, seperti ancaman dari organisasi teroris internasional yang menggunakan mata uang asing sebagai alat pembayaran.


Pendanaan terorisme sering dilakukan melalui jalur-jalur yang sulit dilacak, seperti transfer antarnegara dengan identitas yang disembunyikan. Dalam konteks ini, CBDC menawarkan transparansi yang lebih besar, di mana setiap transaksi digital dicatat secara real-time dan dipantau oleh bank sentral. Ini memungkinkan penegak hukum untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan dengan lebih cepat dan akurat, serta mencegah dana tersebut digunakan untuk aksi teror.


Pengawasan pasar uang yang efektif melalui CBDC memungkinkan otoritas keuangan untuk mengenali pola transaksi yang tidak biasa yang mungkin terkait dengan pendanaan terorisme. Selain itu, penggunaan teknologi terdistribusi pada CBDC dapat meningkatkan keamanan sistem keuangan, mengurangi potensi penyalahgunaan, dan mencegah kebocoran dana untuk tujuan terorisme. Namun, penting bagi negara-negara berkembang untuk memastikan bahwa pengawasan ini tidak disalahgunakan untuk menguasai ekonomi rakyat secara berlebihan. Hak privasi dalam bertransaksi harus dijamin, sesuai dengan prinsip maqasid al-shariah, yang bertujuan melindungi agama, akal, jiwa, ekonomi, dan keturunan. Pengawasan ketat harus disertai dengan regulasi yang jelas untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan hak-hak individu.


Maqasid al-shariah menekankan pentingnya keadilan, perlindungan kekayaan, dan pencegahan bahaya. Dalam konteks pendanaan terorisme, tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan sosial, serta dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam konstitusi Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945, penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Demikian pula, secara ekonomi, CBDC dapat memastikan bahwa sistem keuangan berjalan sesuai dengan maqasid al-shariah, yang melestarikan misi kemanusiaan dengan memperlakukan manusia secara adil dan manusiawi. 


Dengan pengawasan dan regulasi yang tepat, CBDC memungkinkan inklusi keuangan yang lebih besar, memberikan lebih banyak orang akses ke layanan keuangan yang aman dan teratur. Hal ini dapat mencegah marginalisasi ekonomi.


Opini Oleh: Prof.Dr. Muhammad Said, MAg

 (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kelompok Ahli BNPT Bidang Ekonomi Islam)

Previous Post Next Post