Opini: Kewaspadaan Nasional Ditengah Geopolitik Global

Prof.Dr. Muhammad Said, MAg
(Kelompok Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan IKAL Strategic Centre, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Nasional, MDNtimes.id - Rezim al Assad menghadapi kompleksitas permasalahan internal dan eksternal. Keterlibatan berbagai aktor internasional seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Iran, Turki, dan lainnya memperburuk eskalasi konflik di Suriah. Kejatuhan rezim Bashar al-Assad babak baru konflik Suriah. 

Pemerintahan transisi Hayat Tahrir al-Sham mengalami paradoks harapan baru pada satu sisi dan bayang radikalisme lama bangkit Kembali pada sisi yang lain. Post-keruntuhan rezim al Assad, HTS tidak saja menjadi simbol kekuatan baru, tetapi juga sumber ketakutan karena bangkitnya radikalisme dan terorisme.

Sejauh ini, HTS dikenal sebagai entitas yang lahir dari sisa Al Qaeda di Suriah, yang dipimpin Abu Mohammad al-Julani. Kelompok ini merupakan integrasi faksi jihad, termasuk Jabhat Fateh al-Sham pada tahun 2017. Akar radikalisme tetap menjadi bagian dari DNA HTS didukung ambisi menjadi aktor utama dalam politik Suriah pasca-Assad. HTS memainkan peran vital dalam melemahkan rezim Assad dalam beberapa hal. 

Pertama, Koordinasi Militer yang dilakukan bersama Syrian National Army (SNA). Kedua, memanfaatkan kesempatan mengeksploitasi rivalitas global, terutama berkurangnya dukungan Rusia dan Iran terhadap Assad sebagai akibat keterlibatannya dalam perang Ukraina dan konflik di Gaza. Ketiga, propaganda Jihad Digital yang dilakukan melalui platform media sosial secara intens. Strategi ini menghantar HTS sukses dalam merebut kota-kota strategis seperti Damaskus hingga runtuhnya kekuasaan al Assad. 

Keberhasilan ini menjadikan HTS sebagai motor utama transisi politik di Suriah, namun keberadaannya juga memicu ketegangan baru, baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional. Bagi Indonesia, kejatuhan Assad membawa risiko yang signifikan. Ratusan WNI pernah terlibat dalam konflik di Suriah, baik sebagai simpatisan maupun kombatan ISIS. Seruan jihad dari HTS dapat memicu arus balik teroris internasional ke Suriah dan sebaliknya. Otoritas Indonesia seperti BNPT, Densus 88, BIN, dan Imigrasi harus meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman ini. Indonesia harus memperkuat kerja sama internasional dalam memerangi pendanaan teroris dan propaganda digital.

Terdapat lima aspek aspek penting yang perlu di highlights pasca kejatuahan al Assad. Pertama, meninhkatkan kewaspdaan terhadap arus balik Foreign Terrorist Fighters (FTF). Foreign Terrorist Fighters (FTF) yang sebelumnya terlibat di Suriah berpotensi kembali aktif, termasuk warga negara Indonesia (WNI). Data BBC News (2024) mengonfirmasikan bahwa ISIS memiliki jaringan di Irak, Suriah, hingga Asia Selatan. Kewaspadaan nasional secara konseptual mengandung konsep strategis meliputi sikap, pola pikir, dan langkah-langkah kolektif Masyarakat Indonesia dalam mengatasi ancaman, gangguan, tantangan, dan hambatan yang merongrong kedaulatan Indonesia, keselamatan rakyat, dan keutuhan wilayah.

Kewaspadaan nasional sangat mendasar terutama dalam konteks geopolitik Timur Tengah yang terus bergejolak stabilitas Indonesia terjaga, dan tujuan nasional dapat tercapai. Ancaman potensial yang memerlukan kewaspadaan nasional adalah ancaman non-Militer berupa radikalisme, terorisme, separatisme, disintegrasi sosial, atau serangan siber.

Peningkatan pengawasan terhadap WNI yang memiliki riwayat keterlibatan di Suriah, dan memperketat kontrol di wilayah perbatasan. Deradikalisasi Mantan Kombatan dan Simpatisan sebagai instrument mencagah mencegah penyebaran ideologi ekstremisme. Mantan kombatan yang kembali membawa pengaruh ideologis yang membahayakan. peningkatkan efektivitas program deradikalisasi dengan pendekatan berbasis komunitas, dan penyediaan akses rehabilitasi psikologis dan sosial-ekonomi bagi mantan kombatan menjadi factor penting untuk mereduksi ancaman. 

Selain itu, pengawasaan pendanaan Teroris Melalui Sistem Keuangan. Kelompok teroris sering kali memanfaatkan kelemahan dalam sistem keuangan untuk mendanai aktivitas mereka. Dalam konteks ini, Indonesia harus memperkuat regulasi terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dapat dilakukan dengan memperkuat pengawasan terhadap transaksi keuangan mencurigakan, dan mengintegrasikan teknologi digital untuk melacak aliran dana lintas batas. Yang tidak kalah penting bahwa terorisme sebagai ancaman global menuntut setiap negara bekerja keras untuk menanganinya. 

Ancaman terorisme global tidak dapat dilakukan sendirian oleh sebuah negara sehingga memerlukan kolaborasi lintas negara. Karena itu, untuk menjaga kewaspadaan nasional, Indonesia harus memperkuat perannya dalam kerja sama internasional, termasuk berbagi intelijen dan best practices dengan mengaktifkan kembali peran di forum internasional seperti ASEAN dan UNODC, dan memanfaatkan teknologi untuk pertukaran data secara real-time.

Opini Oleh: Prof.Dr. Muhammad Said, MAg

(Kelompok Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan IKAL Strategic Centre, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Previous Post Next Post