Opini: Ramadhan Serentak, Momentum Persaatuan dan Perdamaian

Opini oleh: Prof.Dr. Muhammad Said, MAg
 (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZ Relief Islami Indonesia)


Opini
, MDNtimes.id - Setiap tahun, perbedaan dalam penetapan awal Ramadan sering kali menjadi perdebatan di antara organisasi kemasyarakatan Islam (ormas Islam). Meskipun demikian, tahun ini menjadi titik bersejarah. Ormas Islam akhirnya bersatu dalam memulai ibadah puasa secara serentak, menciptakan momentum baru bagi persatuan dan harmoni umat.

Hasil Sidang Isbat 2025 yang digelar pada Jumat, 28 Februari 2025, menunjukkan bahwa pendekatan ilmiah dan semangat kebersamaan dapat membantu menyatukan umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini. Dengan kriteria imkanur rukyat, hilal yang mencapai ketinggian minimal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat telah memenuhi syarat untuk penetapan awal Ramadhan.

Imkanur rukyat sebagai salah satu metode penentuan awal bulan hijriah yang diterapkan oleh pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak 2021, negara-negara MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) telah menyepakati bahwa hilal dapat dianggap terlihat jika memenuhi kriteria minimal ketinggian 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Pendekatan ini berperan penting dalam tiga aspek utama. 

Pertama, mengintegrasikan Hisab dan Rukyat. Hisab (perhitungan astronomi) memastikan kapan dan di mana hilal mungkin terlihat. Rukyat (pengamatan langsung) menjadi bukti empiris untuk mengonfirmasi hisab. Kedua, Menghindari Perbedaan Penetapan Awal Bulan. Dengan kriteria ini, umat Islam lebih mudah mencapai kesepakatan, baik dalam menentukan awal Ramadhan maupun Syawal. Ketiga, menyesuaikan dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Teknologi seperti teleskop dan citra digital semakin meningkatkan akurasi penentuan hilal.

Hasil perhitungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa awal Ramadhan 1446 H jatuh pada Minggu, 2 Maret 2025. Hal ini sedikit berbeda dengan metode hisab wujudul hilal Muhammadiyah, yang sebelumnya menetapkan awal Ramadhan pada Sabtu, 1 Maret 2025. Namun, pada akhirnya, mayoritas umat Islam menyepakati satu keputusan yang sama dan menjalankan ibadah puasa secara serentak. Keseragaman ini menjadi harapan besar bagi masa depan, di mana umat Islam dapat lebih mengutamakan kesamaan di atas perbedaan, baik dalam konteks hubungan vertikal dengan Allah SWT maupun hubungan horizontal dengan sesama manusia.

Kesepakatan dalam awal Ramadhan ini bukan hanya persoalan teknis kalender, tetapi juga mencerminkan kesadaran kolektif untuk mengedepankan kebersamaan. Lebih dari itu, ibadah Ramadhan adalah momentum bagi umat Islam untuk membangun tatanan sosial yang lebih harmonis dan penuh kepedulian, dan perstaun. Ketika umat Islam berpuasa, berbuka, shalat tarawih, dan merayakan Idul Fitri bersama-sama, mereka memperkuat ikatan sosial dan ukhuwah Islamiyah. Keseragaman ini mengajarkan bahwa persatuan lebih utama daripada perbedaan teknis, dan seharusnya menjadi inspirasi dalam membangun sinergi dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik Islam di Indonesia.

Ramadhan mengajarkan kesetaraan sosial di antara umat manusia. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, pejabat atau rakyat biasa—semua merasakan lapar dan dahaga yang sama. Melalui puasa, orang kaya merasakan penderitaan mereka yang kurang beruntung, yang pada akhirnya membentuk kesadaran untuk berbagi dan peduli terhadap sesama. Ini adalah salah satu manifestasi keadilan sosial yang lahir dari ibadah Ramadhan.

Ramadhan tidak hanya melatih fisik, tetapi juga membangun jiwa yang lebih kuat. Puasa mendidik kita untuk mengendalikan hawa nafsu dan emosi negative, menekan ego sektoral yang sering kali menjadi pangkal perselisihan, dan menumbuhkan empati sosial yang lebih tinggi. Melalui latihan spiritual ini, kita melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, adil, dan penuh kepedulian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan menekan ego dan mengendalikan emosi, puasa menjadi sarana yang efektif dalam meredam ketegangan sosial. Seperti yang disebutkan dalam hadis, puasa adalah perisai (junnah). Jika seseorang diajak bertengkar, cukup ia mengatakan, "Aku sedang berpuasa" (inny sa’imun).

Hal ini menegaskan bahwa puasa bukan hanya ibadah individu, tetapi juga instrumen untuk menciptakan masyarakat yang lebih damai. Dengan semangat persaudaraan dan kebersamaan, umat Islam dapat menepis konflik yang melemahkan persatuan. Keseragaman awal Ramadhan 1446 H harus menjadi katalisator bagi persatuan, keadilan, kepedulian, dan perdamaian. Namun, perubahan sosial tidak akan terjadi begitu saja. Setiap individu harus membangun kesadaran diri untuk meningkatkan kualitas iman dan akhlak, baik selama bulan Ramadhan maupun setelahnya.

Perjuangan spiritual selama Ramadhan harus melahirkan tatanan sosial yang lebih harmonis, di mana masyarakat lebih peduli terhadap yang lemah secara sosial dan ekonomi. Perbedaan dipandang sebagai kekayaan, bukan sumber konflik. Islam hadir sebagai solusi bagi keadilan dan kesejahteraan umat. Dengan demikian, Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi momentum transformasi diri dan masyarakat. Jika tahun ini kita bisa bersatu dalam menjalankan ibadah puasa, maka semestinya kita juga bisa bersatu dalam membangun peradaban Islam yang lebih adil, damai, dan penuh kepedulian. Saatnya menjadikan Ramadhan sebagai titik awal bagi perubahan sosial yang lebih besar—bukan hanya di masjid, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Jika setiap Muslim berkontribusi untuk memperbaiki diri dan lingkungannya, maka Islam akan semakin kokoh sebagai rahmat bagi semesta alam.

Opini oleh: Prof.Dr. Muhammad Said, MAg

 (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZ Relief Islami Indonesia)

Previous Post Next Post